Jumlah anak sekelahiran (JAS) umumnya mempunyai hubungan negatif dengan berat lahir dan berat sapih. Peningkatan JAS diikuti dengan penurunan berat lahir dan berat sapih. Hal ini berkaitan dengan kapasitas uterus dalam menampung fetus dan konsumsi susu anak pra-sapih. Demikian pula JAS yang lebih tinggi biasanya akan diikuti dengan peningkatan mortalitas (Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991; Sutama et al., 1993).
Kambing PE memiliki tingkat
kesuburan yang tinggi ditunjukkan dengan JAS 1,3 – 1,7 dan rataan 1,5
(Subandriyo et al., 1986; Adriani et al., 2003; Sutama et al., 2007c). Namun
masih ada sekitar 41,7% induk yang beranak tunggal (Sutama et al., 2007c).
Upaya peningkatan JAS dilakukan dengan peningkatan jumlah sel telur yang
diovulasikan (superovulasi), dengan harapan akan ada lebih banyak sel telur
yang dibuahi dan tumbuh berkembang menjadi anak. Pregnant Mare Serum
Gonadotrophin (PMSG) merupakan hormon yang paling sering dipakai dalam program
superovulasi pada kambing (Artiningsih et al., 1996; Sutama et al., 2002a;
Adriani et al., 2003) maupun domba (McIntosh et al., 1975; Sutama, 1988; Sutama
et al., 1988a). Penyuntikan PMSG dengan dosis 500 – 700 iu/ekor meningkatkan
jumlah ovulasi sebesar 80-160% dan anak yang lahir sebesar 31-72% (Artiningsih
et al., 1996; Adriani et al., 2003).
Teknologi superovulasi juga dapat
meningkatkan produksi susu sebesar 32%, jumlah anak disapih dan berat sapih
37-53% (Adriani et al., 2003; 2004). Hal ini terkait dengan lebih tingginya
kadar hormon progesteron maupun estrogen. Kedua jenis hormon tersebut
merangsang pertumbuhan kelenjar ambing (Manalu dan Sumaryadi, 1995; Sutama et
al., 2002a). Di samping secara hormonal, peningkatan JAS dapat dilakukan dengan
meningkatkan konsumsi gizi sekitar waktu kawin (flushing). Cara ini relatif
mudah dan dapat dilakukan di tingkat lapang oleh petani. Namun peningkatan JAS
yang terjadi tidak setinggi cara hormonal, yaitu 22% (Adiati et al., 1999).
Peningkatan laju ovulasi akibat
superovulasi ataupun flushing diikuti dengan lebih tingginya sel telur yang
tidak berkembang menjadi anak (ova-wastage) yaitu sebesar 28,2 – 40,1%. Ini
terjadi karena sel telur tidak dibuahi atau karena kematian embrio
(Sutama et al., 1988b; Sutama, 1989a, 1989b; Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991;
Artiningsih et al., 1996; Adriani et al., 2003). Walaupun demikian superovulasi
dapat meningkatkan produktivitas induk sebesar 109,6% dari total anak yang disapih
(Adriani et al., 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar