Senin, 03 Februari 2014

Peningkatan Jumlah Anak Sekelahiran dan Berat Sapih


         Jumlah anak sekelahiran (JAS) umumnya mempunyai hubungan negatif dengan berat lahir dan berat sapih. Peningkatan JAS diikuti dengan penurunan berat lahir dan berat sapih. Hal ini berkaitan dengan kapasitas uterus dalam menampung fetus dan konsumsi susu anak pra-sapih. Demikian pula JAS yang lebih tinggi biasanya akan diikuti dengan peningkatan mortalitas (Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991;  Sutama et al., 1993).
Kambing PE memiliki tingkat kesuburan yang tinggi ditunjukkan dengan  JAS 1,3 – 1,7 dan rataan 1,5 (Subandriyo et al., 1986; Adriani et al., 2003; Sutama et al., 2007c). Namun masih ada sekitar 41,7% induk yang beranak tunggal (Sutama et al., 2007c). Upaya peningkatan JAS dilakukan dengan peningkatan jumlah sel telur yang diovulasikan (superovulasi), dengan harapan akan ada lebih banyak sel telur yang dibuahi dan tumbuh berkembang menjadi anak. Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) merupakan hormon yang paling sering dipakai dalam program superovulasi pada kambing (Artiningsih et al., 1996; Sutama et al., 2002a; Adriani et al., 2003) maupun domba (McIntosh et al., 1975; Sutama, 1988; Sutama et al., 1988a). Penyuntikan PMSG dengan dosis 500 – 700 iu/ekor meningkatkan jumlah ovulasi sebesar 80-160% dan anak yang lahir sebesar 31-72% (Artiningsih et al., 1996; Adriani et al., 2003).
Teknologi superovulasi juga dapat meningkatkan produksi susu sebesar 32%, jumlah anak disapih dan berat sapih 37-53% (Adriani et al., 2003; 2004). Hal ini terkait dengan lebih tingginya kadar hormon progesteron maupun estrogen. Kedua jenis hormon tersebut merangsang pertumbuhan kelenjar ambing (Manalu dan Sumaryadi, 1995; Sutama et al., 2002a). Di samping secara hormonal, peningkatan JAS dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi gizi sekitar waktu kawin (flushing). Cara ini relatif mudah dan dapat dilakukan di tingkat lapang oleh petani. Namun peningkatan JAS yang terjadi tidak setinggi cara hormonal, yaitu 22% (Adiati et al., 1999).
Peningkatan laju ovulasi akibat superovulasi ataupun flushing diikuti dengan lebih tingginya sel telur yang tidak berkembang menjadi anak (ova-wastage) yaitu sebesar 28,2 – 40,1%. Ini terjadi karena sel telur tidak dibuahi atau karena kematian embrio  (Sutama et al., 1988b; Sutama, 1989a, 1989b; Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991; Artiningsih et al., 1996; Adriani et al., 2003). Walaupun demikian superovulasi dapat meningkatkan produktivitas induk sebesar 109,6% dari total anak yang disapih (Adriani et al., 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar