Kamis, 30 Januari 2014

MAKALAH WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA



MAKALAH BAHASA INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh:
R u s l a n
I 111 11 903






FAKULTAS ILMU PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt. yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan makalah ini dapat selesai sebagaimana yang diharapkan.
Makalah ini tentunya berisi uraian mengenai wajah pendidikan di Indonesia yang selalu menuai kontroversi disemua kalangan. Mulai dari pemerintah, masyarakat, bahkan pelaku-pelaku pendidik sendiri yang selalu menuai kritikan  dari banyak pihak. Akan tetapi, ketika kita diperhadapkan pada permasalahan siapa yana harus bertanggungjawab terhadap sistem pendidikan di negara kita, maka tak ada jawaban yang tepat tentang hal tersebut. Semua pihak seharusnya memiliki figur sebagai penanggungjawab dalam penerapan sistem pendidikan. Sehingga orientasi pendidikan negara kita terlaksana sesuai Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam perumusan makalah ini. Terutama dosen mata kuliah yang memberikan tugas untuk membuat makalah sebagai salah satu bahan penilaiannya terhadap mahasiswa yang bersangkutan.
Semoga makalah ini dapat membantu para pembaca dalam hal pengembangan pengetahuan. Meski masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Olehnya itu, saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan dikemudian hari. Terima kasih.

Makassar, November 2011

Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
         LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kit bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa dimata dunia internasional. Pendidikan akan terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam arti bahwa berkulitas dalam aspek spiritual, intelegensi, dan skill. Olehnya itu, dibutuhkan usaha untuk peningkatan mutu pendidikan agar bangsa kita tidak terlena dengan status sebagai bangsa yang sedang berkembang. Akan tetapi, bisa menyandang predikat sebagai bangsa maju yang tidak kalah bersaing dengan bangsa Eropa.
Telah menjadi rahasia umum bahwa kemajuan suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Coba kita memandang Amerika yang menjadi simbol negara adidaya di dunia. Mereka tidak akan bisa diakui oleh dunia apabila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan di negara kita. Selain itu, Jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan teknologinya. Negara yang satu ini adalah negara yang sangat menghargai pendidikan dan bahkan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan. Sedangkan, negara kita hanya sibuk membicarakan kedudukan sehingga pendidikan menjadi perhatian kesekian. Belum lagi persoalan bencana alam yang sering melanda bumi Indonesia, seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain yang menyebabkan beban biaya yang sangat besar bagi Indonesia.
Masalah pendidikan tidak pernah habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh mereka yang peduli dengan pendidikan Indonesia. Dapat dikatakan Indonesia belum mampu menemukan problem solving yang ideal untuk diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Hal ini terlihat pada wajah pendidikan Indonesia yang tidak lagi berkiblat pada tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945 serta yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
         RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas penyusun dapat merumuskan masalah sebagai berikut.
         Bagaimana realitas pendidikan kita yang sangat jauh dari harapan banyak pihak.
         Bagaimana sistem pendidikan Indonesia berpengaruh terhadap outputnya.
         Benarkah adanya perilaku pembodohan terhadap siswa.
         Apakah akan muncul paradigma baru terhadap wajah pendidikan Indonesia di masa mendatang.


BAB II
PEMBAHASAN
         REALITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Adanya tripusat pendidikan yang diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga seharusnya menjadi indikator dalam penerapan sistem pendidikan Indonesia. Namun, kenyataannya sangat jauh dari harapan sebab konsep tersebut hanya sekedar konsep yang seakan-akan dijalankan. Lebih tepatnya, Indonesia hanya menerapkan tunggal pusat pendidikan, yaitu pendidikan di lembaga pendidikan (sekolah). Dalam hal ini, sekolah dipandang sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Sedangkan keluarga dan masyarakat hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka di sekolah, sehingga terkesan lepas tangan dari pendidikan anak mereka. Bagi mereka yang terpenting adalah anaknya bisa mendapatkan sertifikat (ijazah) sebagai bukti kelulusan dengan nilai-nilai yang cukup sempurna. Akan tetapi, ketika anaknya gagal dalam pendidikan yang disalahkan adalah sekolah.
Fakta lain juga datang dari opini khalayak mengenai “orang miskin dilarang sekolah”. Benarkah orang miskin dilarang sekolah? Bila melihat realita pendidikan di negara kita, pernyataan tersebut memang tersirat dengan adanya biaya pendidikan semakin melangit. Bukan hanya di lembaga pendidikan swasta, tetapi lembaga pendidikan negeri pun berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Apalagi dengan adanya otonomi kampus untuk tingkat universitas, biaya pendidikan menjadi semakin mengerikan. Pada tahun ajaran 2005/2006, biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri maupun swasta mengalami kenaikan 5-10% per semester. Peningkatan biaya operasional perguruan tinggi tersebut akibat dari kenaikan harga BBM dan tingginya angka inflasi (Kedulatan Rakyat, 27 April 2006).
Telah diuraikan sebelumnya bahwasanya konsep tripusat pendidikan adalah salah satunya di sekolah. Akan tetapi, sekolah saat ini sangat jauh dari harapan untuk melakukan fungsi pendidikannya terhadap peserta didiknya. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal demikian. Salah satunya adalah bangunan sekolah yang sebenarnya sudah rapuh, bahkan banyak diantaranya yang sudah ambruk. Keterbatasan dana menjadi alasan utama pihak sekolah masih menggunakan gedung-gedung tersebut, meski upaya meminta bantuan dana kepada pemerintah daerah (PEMDA) setempat sudah dilakukan. Namun, respon yang diharapkan tak kunjung datang dari pihak PEMDA selaku penanggungjawab pendidikan di daerah, bahkan seolah-olah tidak pernah tahu akan hal tersebut.
Sekolah tidak hanya rapuh dari segi fisiknya saja, tetapi juga rapuh terhadap kekerasan dari luar yang merangsek eksistensinya. Mulai dari cara-cara yang halus melalui metode pembelian buku serta berbagai macam bisnis yang mengatasnamakan kepentingan sekolah, hingga cara-cara yang paling kasar, seperti pengerahan massa, penggusuran sekolah, dan penutupan kegiatan belajar-mengajar dengan cara menembok jalan masuk sekolah.
         SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Sejarah panjang pendidikan di Indonesia menunjukkan pembaruan yang radikal melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 serta UU Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mendelegasikan otoritas pendidikan pada dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, pelibatan masyarakat dalam pengembangan kurikuler, serta pengembangan sekolah lainnya. Namun, pembaruan tersebut belum mampu menjawab kompleksitas problema yang ada. Dalam konteks saat ini, munculnya sebuah kurikulum menjadi kebutuhan krusial dalam proses pengembangan pendidikan di Indonesia.
Semula Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diharapkan akan mampu meningkatkan mutu pendidikan, tetapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan berbagai persoalan justru muncul saat diberlakukannya kurikulum baru. Ketidakoptimalan KBK disebabkan beberapa alasan, yaitu :
         Banyak orang beranggapan bahwa KBK merupakan kurikulum yang didasarkan pada peningkatan kompetensi siswa. Dengan demikian, diharapkan terciptanya sumber daya manusia tidak hanya memiliki pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan hidup. Namun, padatnya materi pelajaran di sekolah dengan waktu yang relatif singkat menyebabkan para guru kelabakan menerapkan KBK untuk mencapai kompetensi.
         Adanya perbedaan interpretasi dan implementasi KBK ditingkat penatar, kepala sekolah, dan para guru karena sosialisasi belum optimal. Guru banyak yang menerapkan KBK dengan porsi pembelajaran yang berlebih pada siswa. Ada guru yang mengajarkan matematika langsung pada soal-soal kemudian dibahas. Ketika ditanya, alasannya KBK.
Dalam hal bantuan operasional sekolah (BOS), pemerintah ternyata tidak sukses menjalankan. Dana BOS sebagai bagian dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) tidak seharusnya diklaim sebagai upaya untuk meratakan hak memperoleh pendidikan. Pengucuran dana BOS ternyata hanya menjadi pengalih isu. Rakyat semakin menderita akibat kenaikan harga barang dan bahan pokok. Akibatnya, mereka yang miskin semakin tidak mampu menyentuh pendidikan lantaran kebutuhan sehari-hari masih sulit dipenuhi. Barangkali inilah nasib pendidikan nasional kita yang masih terhimpit dengan persoalan kurikulum dan anggaran.
         PERILAKU PEMBODOHAN SISWA
Sebagaimana yang dijelaskan dalam uraian sebelumnya bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Peralihan bentuk pendidikan informal (keluarga) kebentuk formal (sekolah) memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Sikap anak terhadap sekolah terutama akan dipengaruhi oleh sikap orang tua mereka. Dari paradigma ini sudah tergambar bahwa orang tua sangat berperan penting pendidikan anak, sebab merekalah yang menjadi penentu masa depan anaknya.
Akan tetapi, masih banyak sekali ditemukan realita bahwa orang tua yang seharuanya beryanggungjawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya melakukan tindakan dan atau perilaku-perilaku yang mengarah dan menyebabkan pembodohan terhadap anaknya sendiri (siswa). Entah itu disadari atau tidak tindakan atau perilaku orang tua yang keliru akan berdampak besar bagi proses belajar anak (siswa). Berikut adalah bentuk-bentuk tindakan atau perilaku pembodohan siswa yang dilakukan oleh orang tua.
         Kurangnya perhatian kepada anak
         Melakukan segala bentuk penyuapan tehadap guru
         Memaksakan haknya pada anaknya
         Menyuruh anak mencari nafkah
         Keras dalam mendidik
Peningkatan kualitas pendidikan menjadi pokok pembahasan yang tidak berujung dan selalu menjadi permasalahan untuk diperdebatkan oleh para pelaku pendidikan. Hal tersebut disebabkan tidak terjaminnya kesiapan dalang maupun pelakon pendidikan yang disebabkan oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal. Orientasi pendidikan kita cenderung memperlakukan peserta didik sebagai obyek atau klien dan guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator. Sehingga merangsang munculnya perilaku pembodohan dilingkup sekolah. Berikut beberapa perilaku pembodohan yang sering terjadi disekolah.
         Manipulasi nilai
         Gaya mengajar yang membodohkan siswa
         Soal ujian sama persis dengan tahun sebelumnya
         Guru yang tidak ideal

         PARADIGMA BARU PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan adalah salah satu tugas penting karena merupakan suatu kebutuhan pokok manusia. Dengan kata lain bahwa pendidikan merupakan hak pribadi manusia yang berakar dalam aneka kebutuhan pokok manusia sebab manusia tidak bisa mengembangkan hidupnya tanpa pendidikan yang minimum dan bermutu. Tanpa pendidikan, manusia akan tetap kerdil dan tergilas dengan kekuatan atau kekuasaan alam. Selain itu, manusia tetap terpenjara dalam pesona magis-misteri, seperti yang dikatakan Asimov bahwa tingkst kesadarannya hanya sebatas ide curiousity (insting binatang) dan takkan berubah menjadi creative curiousity (ciri orang terdidik). Dengan demikian, hak atas pendidikan bukan hanya sekedar kebutuhan pokok fisik tetapi juga kebutuhan pokok yang khas manusiawi dan akhirnya didasarkan atas martabat manusia yang tidak bisa ditawar.
Orientasi pendidikan di negara demokratis adalah bagaimana anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan berbagai bentuk perbudakan lainnya. Selain itu, manusia merdeka sebagai hasil pendidikan yang demokratis harus juga matang secara etis. Manusia merdeka dan demokratis hasil pendidikan nasional perlu tampil sebagai individu yang memiliki integritas pribadi yang unggul dan berbakti pada masyarakat.
Mengarah pada persfektif pendidikan hanya demi memenuhi tuntutan lapangan kerja membuat sekolah tak beda jauh dari pabrik robot. Ini jelas bertentangan dengan esensi pendidikan sendiri yang ingin memartabatkan manusia dengan pengembangan berbagai macam kemampuan, bakat, dan talenta yang dimilikim secara maksimal. Akan tetapi, melalui paradigma baru pendidikan akan membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional yang berimplikasi amat luas. Menurut Waras Kamdi (2004), sekurang-kurang ada tiga ranah dalam sistem pendidikan yang akan mengalami perubahan mendasar.
         Perubahan visi kurikulum yang lebih fleksibel dan egaliter, atau dalam bahasa lainnya adalah kurikulum yang demokratis.
         Perubahan pada ranah pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural.
         Perubahan strategi dan fungsi penilaian yang memiliki standar keobjektifitas.
Paradigma baru yang memandang kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan. Sehingga menyebabkan penilaian tidak dapat dipisahkan dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya sendiri.



BAB III
PENUTUP
         KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan tentang bagaimana wajah pendidikan di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan di negara kita mengalami kesenjangan antara teori dan realitasnya. Hal ini disebabkan oleh banyak  faktor, diantaranya sistem pendidikan yang diterapkan banyak mengalami penyimpangan dan juga perilaku pembodohan siswa yang dilakukan secara tidak sadar oleh banyak pihak. Akan tetapi, masih ada harapan untuk melihat paradigma baru pendidikan Indonesia dengan melakukan perubahan-perubahan mendasar pada beberapa ranah pendidikan.
         SARAN
Menelaah sekian banyaknya asumsi-asumsi yang menitikberatkan pada persoalan pendidikan sebagai suatu hal yang sangat pokok bagi kelangsungan hidup bangsa kita. Bagaimana pendidikan negara bisa menjadi indikator untuk memajukan bangsa di dunia internasional. Sehingga tidak salah penulis memberikan saran agar semua elemen yang mempunyai tanggungjawab terhadap dunia pendidikan harus menjalin kinerja yang efektif guna tercapainya tujuan pendidikan sesuai yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.



DAFTAR PUSTAKA
Joko Susilo, Muhammad. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar