MAKALAH BAHASA INDONESIA
WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh:
R u s l a n
I 111 11 903

FAKULTAS ILMU PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt. yang senantiasa
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan makalah ini dapat selesai
sebagaimana yang diharapkan.
Makalah ini tentunya berisi uraian mengenai wajah pendidikan
di Indonesia yang selalu menuai kontroversi disemua kalangan. Mulai dari
pemerintah, masyarakat, bahkan pelaku-pelaku pendidik sendiri yang selalu
menuai kritikan dari banyak pihak. Akan
tetapi, ketika kita diperhadapkan pada permasalahan siapa yana harus bertanggungjawab
terhadap sistem pendidikan di negara kita, maka tak ada jawaban yang tepat
tentang hal tersebut. Semua pihak seharusnya memiliki figur sebagai
penanggungjawab dalam penerapan sistem pendidikan. Sehingga orientasi
pendidikan negara kita terlaksana sesuai Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang terkait dalam perumusan makalah ini. Terutama dosen mata kuliah yang
memberikan tugas untuk membuat makalah sebagai salah satu bahan penilaiannya
terhadap mahasiswa yang bersangkutan.
Semoga makalah ini dapat membantu para pembaca dalam hal
pengembangan pengetahuan. Meski masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan.
Olehnya itu, saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan dikemudian hari.
Terima kasih.
Makassar,
November 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
•
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan hal yang sangat
penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kit bisa
memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa dimata dunia internasional.
Pendidikan akan terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya
manusia yang berkualitas. Dalam arti bahwa berkulitas dalam aspek spiritual,
intelegensi, dan skill. Olehnya itu, dibutuhkan usaha untuk peningkatan mutu
pendidikan agar bangsa kita tidak terlena dengan status sebagai bangsa yang
sedang berkembang. Akan tetapi, bisa menyandang predikat sebagai bangsa maju
yang tidak kalah bersaing dengan bangsa Eropa.
Telah menjadi rahasia umum bahwa
kemajuan suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Coba kita
memandang Amerika yang menjadi simbol negara adidaya di dunia. Mereka tidak
akan bisa diakui oleh dunia apabila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan
di negara kita. Selain itu, Jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan teknologinya.
Negara yang satu ini adalah negara yang sangat menghargai pendidikan dan bahkan
tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan. Sedangkan,
negara kita hanya sibuk membicarakan kedudukan sehingga pendidikan menjadi
perhatian kesekian. Belum lagi persoalan bencana alam yang sering melanda bumi
Indonesia, seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain
yang menyebabkan beban biaya yang sangat besar bagi Indonesia.
Masalah pendidikan tidak pernah
habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh
mereka yang peduli dengan pendidikan Indonesia. Dapat dikatakan Indonesia belum
mampu menemukan problem solving yang
ideal untuk diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Hal ini terlihat pada wajah
pendidikan Indonesia yang tidak lagi berkiblat pada tujuan negara dalam
Pembukaan UUD 1945 serta yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Ki Hajar
Dewantara.
•
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas penyusun
dapat merumuskan masalah sebagai berikut.
•
Bagaimana realitas pendidikan kita
yang sangat jauh dari harapan banyak pihak.
•
Bagaimana sistem pendidikan
Indonesia berpengaruh terhadap outputnya.
•
Benarkah adanya perilaku pembodohan
terhadap siswa.
•
Apakah akan muncul paradigma baru
terhadap wajah pendidikan Indonesia di masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
•
REALITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Adanya tripusat pendidikan yang
diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni pendidikan di lembaga pendidikan,
pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga seharusnya menjadi
indikator dalam penerapan sistem pendidikan Indonesia. Namun, kenyataannya
sangat jauh dari harapan sebab konsep tersebut hanya sekedar konsep yang
seakan-akan dijalankan. Lebih tepatnya, Indonesia hanya menerapkan tunggal
pusat pendidikan, yaitu pendidikan di lembaga pendidikan (sekolah). Dalam hal
ini, sekolah dipandang sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa
mengantarkan pada kecerahan masa depan. Sedangkan keluarga dan masyarakat hanya
menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka di sekolah, sehingga terkesan
lepas tangan dari pendidikan anak mereka. Bagi mereka yang terpenting adalah
anaknya bisa mendapatkan sertifikat (ijazah) sebagai bukti kelulusan dengan
nilai-nilai yang cukup sempurna. Akan tetapi, ketika anaknya gagal dalam
pendidikan yang disalahkan adalah sekolah.
Fakta lain juga datang dari opini
khalayak mengenai “orang miskin dilarang sekolah”. Benarkah orang miskin
dilarang sekolah? Bila melihat realita pendidikan di negara kita, pernyataan
tersebut memang tersirat dengan adanya biaya pendidikan semakin melangit. Bukan
hanya di lembaga pendidikan swasta, tetapi lembaga pendidikan negeri pun
berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Apalagi dengan adanya otonomi
kampus untuk tingkat universitas, biaya pendidikan menjadi semakin mengerikan.
Pada tahun ajaran 2005/2006, biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri maupun
swasta mengalami kenaikan 5-10% per semester. Peningkatan biaya operasional
perguruan tinggi tersebut akibat dari kenaikan harga BBM dan tingginya angka
inflasi (Kedulatan Rakyat, 27 April 2006).
Telah diuraikan sebelumnya
bahwasanya konsep tripusat pendidikan adalah salah satunya di sekolah. Akan
tetapi, sekolah saat ini sangat jauh dari harapan untuk melakukan fungsi pendidikannya
terhadap peserta didiknya. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal demikian.
Salah satunya adalah bangunan sekolah yang sebenarnya sudah rapuh, bahkan
banyak diantaranya yang sudah ambruk. Keterbatasan dana menjadi alasan utama
pihak sekolah masih menggunakan gedung-gedung tersebut, meski upaya meminta
bantuan dana kepada pemerintah daerah (PEMDA) setempat sudah dilakukan. Namun,
respon yang diharapkan tak kunjung datang dari pihak PEMDA selaku
penanggungjawab pendidikan di daerah, bahkan seolah-olah tidak pernah tahu akan
hal tersebut.
Sekolah tidak hanya rapuh dari segi
fisiknya saja, tetapi juga rapuh terhadap kekerasan dari luar yang merangsek
eksistensinya. Mulai dari cara-cara yang halus melalui metode pembelian buku
serta berbagai macam bisnis yang mengatasnamakan kepentingan sekolah, hingga
cara-cara yang paling kasar, seperti pengerahan massa, penggusuran sekolah, dan
penutupan kegiatan belajar-mengajar dengan cara menembok jalan masuk sekolah.
•
SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Sejarah panjang pendidikan di
Indonesia menunjukkan pembaruan yang radikal melalui Undang-Undang (UU) Nomor
22 tahun 1999 serta UU Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang mendelegasikan otoritas pendidikan pada dan mendorong otonomisasi di
tingkat sekolah, pelibatan masyarakat dalam pengembangan kurikuler, serta
pengembangan sekolah lainnya. Namun, pembaruan tersebut belum mampu menjawab
kompleksitas problema yang ada. Dalam konteks saat ini, munculnya sebuah
kurikulum menjadi kebutuhan krusial dalam proses pengembangan pendidikan di
Indonesia.
Semula Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) diharapkan akan mampu meningkatkan mutu pendidikan, tetapi kenyataannya
tidak demikian. Bahkan berbagai persoalan justru muncul saat diberlakukannya
kurikulum baru. Ketidakoptimalan KBK disebabkan beberapa alasan, yaitu :
•
Banyak orang beranggapan bahwa KBK
merupakan kurikulum yang didasarkan pada peningkatan kompetensi siswa. Dengan
demikian, diharapkan terciptanya sumber daya manusia tidak hanya memiliki
pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan hidup. Namun, padatnya materi
pelajaran di sekolah dengan waktu yang relatif singkat menyebabkan para guru
kelabakan menerapkan KBK untuk mencapai kompetensi.
•
Adanya perbedaan interpretasi dan
implementasi KBK ditingkat penatar, kepala sekolah, dan para guru karena
sosialisasi belum optimal. Guru banyak yang menerapkan KBK dengan porsi
pembelajaran yang berlebih pada siswa. Ada guru yang mengajarkan matematika
langsung pada soal-soal kemudian dibahas. Ketika ditanya, alasannya KBK.
Dalam hal bantuan operasional sekolah (BOS), pemerintah
ternyata tidak sukses menjalankan. Dana BOS sebagai bagian dari Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) tidak seharusnya
diklaim sebagai upaya untuk meratakan hak memperoleh pendidikan. Pengucuran
dana BOS ternyata hanya menjadi pengalih isu. Rakyat semakin menderita akibat
kenaikan harga barang dan bahan pokok. Akibatnya, mereka yang miskin semakin
tidak mampu menyentuh pendidikan lantaran kebutuhan sehari-hari masih sulit
dipenuhi. Barangkali inilah nasib pendidikan nasional kita yang masih terhimpit
dengan persoalan kurikulum dan anggaran.
•
PERILAKU PEMBODOHAN SISWA
Sebagaimana yang dijelaskan dalam
uraian sebelumnya bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga,
masyarakat, dan pemerintah. Peralihan bentuk pendidikan informal (keluarga)
kebentuk formal (sekolah) memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah
(pendidik). Sikap anak terhadap sekolah terutama akan dipengaruhi oleh sikap
orang tua mereka. Dari paradigma ini sudah tergambar bahwa orang tua sangat
berperan penting pendidikan anak, sebab merekalah yang menjadi penentu masa
depan anaknya.
Akan tetapi, masih banyak sekali
ditemukan realita bahwa orang tua yang seharuanya beryanggungjawab penuh terhadap
pendidikan anak-anaknya melakukan tindakan dan atau perilaku-perilaku yang
mengarah dan menyebabkan pembodohan terhadap anaknya sendiri (siswa). Entah itu
disadari atau tidak tindakan atau perilaku orang tua yang keliru akan berdampak
besar bagi proses belajar anak (siswa). Berikut adalah bentuk-bentuk tindakan
atau perilaku pembodohan siswa yang dilakukan oleh orang tua.
•
Kurangnya perhatian kepada anak
•
Melakukan segala bentuk penyuapan
tehadap guru
•
Memaksakan haknya pada anaknya
•
Menyuruh anak mencari nafkah
•
Keras dalam mendidik
Peningkatan kualitas pendidikan
menjadi pokok pembahasan yang tidak berujung dan selalu menjadi permasalahan
untuk diperdebatkan oleh para pelaku pendidikan. Hal tersebut disebabkan tidak
terjaminnya kesiapan dalang maupun pelakon pendidikan yang disebabkan oleh
banyak faktor baik internal maupun eksternal. Orientasi pendidikan kita
cenderung memperlakukan peserta didik sebagai obyek atau klien dan guru sebagai
pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator. Sehingga merangsang
munculnya perilaku pembodohan dilingkup sekolah. Berikut beberapa perilaku
pembodohan yang sering terjadi disekolah.
•
Manipulasi nilai
•
Gaya mengajar yang membodohkan siswa
•
Soal ujian sama persis dengan tahun
sebelumnya
•
Guru yang tidak ideal
•
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan
adalah salah satu tugas penting karena merupakan suatu kebutuhan pokok manusia.
Dengan kata lain bahwa pendidikan merupakan hak pribadi manusia yang berakar
dalam aneka kebutuhan pokok manusia sebab manusia tidak bisa mengembangkan
hidupnya tanpa pendidikan yang minimum dan bermutu. Tanpa pendidikan, manusia
akan tetap kerdil dan tergilas dengan kekuatan atau kekuasaan alam. Selain itu,
manusia tetap terpenjara dalam pesona magis-misteri, seperti yang dikatakan
Asimov bahwa tingkst kesadarannya hanya sebatas ide curiousity (insting
binatang) dan takkan berubah menjadi creative curiousity (ciri orang terdidik).
Dengan demikian, hak atas pendidikan bukan hanya sekedar kebutuhan pokok fisik
tetapi juga kebutuhan pokok yang khas manusiawi dan akhirnya didasarkan atas
martabat manusia yang tidak bisa ditawar.
Orientasi
pendidikan di negara demokratis adalah bagaimana anak bangsa dari kebodohan,
kemiskinan, dan berbagai bentuk perbudakan lainnya. Selain itu, manusia merdeka
sebagai hasil pendidikan yang demokratis harus juga matang secara etis. Manusia
merdeka dan demokratis hasil pendidikan nasional perlu tampil sebagai individu
yang memiliki integritas pribadi yang unggul dan berbakti pada masyarakat.
Mengarah
pada persfektif pendidikan hanya demi memenuhi tuntutan lapangan kerja membuat
sekolah tak beda jauh dari pabrik robot. Ini jelas bertentangan dengan esensi
pendidikan sendiri yang ingin memartabatkan manusia dengan pengembangan
berbagai macam kemampuan, bakat, dan talenta yang dimilikim secara maksimal.
Akan tetapi, melalui paradigma baru pendidikan akan membawa angin perubahan
dunia pendidikan nasional yang berimplikasi amat luas. Menurut Waras Kamdi
(2004), sekurang-kurang ada tiga ranah dalam sistem pendidikan yang akan
mengalami perubahan mendasar.
•
Perubahan visi kurikulum yang lebih
fleksibel dan egaliter, atau dalam bahasa lainnya adalah kurikulum yang
demokratis.
•
Perubahan pada ranah pembelajaran
yang bertumpu pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara
sosial dan kultural.
•
Perubahan strategi dan fungsi
penilaian yang memiliki standar keobjektifitas.
Paradigma baru yang memandang
kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa dan pembelajaran sebagai
proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan. Sehingga menyebabkan
penilaian tidak dapat dipisahkan dari proses belajar. Penilaian terintegrasi
dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar dan siswa aktif mengevaluasi
belajarnya sendiri.
BAB
III
PENUTUP
•
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian dan pembahasan tentang bagaimana wajah pendidikan di Indonesia, maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan di negara kita mengalami kesenjangan antara
teori dan realitasnya. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sistem pendidikan yang
diterapkan banyak mengalami penyimpangan dan juga perilaku pembodohan siswa
yang dilakukan secara tidak sadar oleh banyak pihak. Akan tetapi, masih ada
harapan untuk melihat paradigma baru pendidikan Indonesia dengan melakukan
perubahan-perubahan mendasar pada beberapa ranah pendidikan.
•
SARAN
Menelaah
sekian banyaknya asumsi-asumsi yang menitikberatkan pada persoalan pendidikan
sebagai suatu hal yang sangat pokok bagi kelangsungan hidup bangsa kita.
Bagaimana pendidikan negara bisa menjadi indikator untuk memajukan bangsa di
dunia internasional. Sehingga tidak salah penulis memberikan saran agar semua
elemen yang mempunyai tanggungjawab terhadap dunia pendidikan harus menjalin
kinerja yang efektif guna tercapainya tujuan pendidikan sesuai yang diamanatkan
dalam Pembukaan UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
Joko
Susilo, Muhammad. Pembodohan Siswa
Tersistematis. Yogyakarta: Pinus, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar